Rabu, 21 Maret 2012

Sekolah Kehidupan


Dalam sebuah tulisannya Anne Ahira bertanya, Tahukah anda apa perbedaan dari sekolah formal dan sekolah kehidupan? KKemudian dia menjawabnya sendiri. Perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya adalah: kalau sekolah formal belajar dulu baru ujian, kalau sekolah kehidupan ujian dulu baru belajar.
Kali ini aku kembali merenungi kata-kata itu sambil manggut-manggut membenarkan. Iya juga ya. Setiap kita mengalami dua lembaga pendidikan itu sekaligus. Kita yang saat inipun sedang atau masih berstatus pelajar atau mahasiswa, selain mengikuti program pendidikan formal juga secara otomatis mengikuti program sekolah kehidupan.

Rasakan dan hayati. Ada istilam Alam tak ambang jadi guru. Semua yang ada di sekeliling kita adalah guru. Di sekolah para guru menyampaikan materi dalam jam-jam tertentu sesuai yang diampunya. Membantu kita memahami apa yang kita tidak tahu. Seringkali bapak atau ibu guru memberi latihan dengan memberikan permasalahan atau soal untuk kita kerjakan. Maksudnya adalah agar kita siap bila suatu ketika nanti kita menghadapi ujian.
Dan pada saatnya tiba, ujian datang. Kita harus mengerjakannya dan berusaha menyelesaikannya dengan baik. Untuk mengerjakannya kita harus mengingat rumus, prinsip, konsep dan teori yang pernah diajatkan oleh guru kita.
Di sekolah kehidupan, guru kita lebih banyak lagi. Tetapi para guru itu tidak pernah menunjukkan identitasnya terang-terangan. Guru bisa saja orangtua kita, saudara kita, kakek nenek, paman bibi, kakak adik dan bahkan benda mati seperti Hp laptop atau juga sistim dan aturan.
Dalam sekolah kehidupan aturannya berbeda dari sekolah formal. Untuk mendapatkan sebuah ilmu, kita harus kejedog dulu. Kesandung atau kejlungup. Itulah ujian. Setelah semuanya terjadi, kita sudah babak belur, barulah kita merenung dan berfikir. Merenungi nasip. Kenapa ya aku kok jadi begini?  Orang seringkali menganggap ujian itu sebagai musibah atau bencana. Untuk mengatasi bencana itu bekerjalah kita mencari solusi atau jalan keluar. Kita gali berbagai informasi untuk mengatasi masalah itu. Kita lakukan ujicoba, kita lakukan semua proses pembelajaran. Mengamati, memahami, menganalisis, mengevaluasi dan menerapkan. Akhirnya....... kita dapatkan sebuah kesimpulan baru dan itulah ilmu.
Ilmu baru tersebut akan menjadi "pancatan" kita untuk menjalani kehidupan berikutnya. Maka muncullah kata bijak: pengalaman agalah guru terbaik.
Kalau orang tidak bisa atau tidak mau belajar dari pengalaman baik itu pengalaman orang lain atau pengalaman diri sendiri, dia akan kehilangan guru terbaiknya. Ia gak akan naik kelas. Ia akan tetap berada di tingkatnya. Sementara orang sudah berada jauuuuuuh di depan ia masih terengah-engah menjalani kehidupan yang dirasakannya semakin sulit.
Ayo!! Kita siapkan diri kita mengikuti program sekolah formal dan sekolah kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar